top of page

'Flower Among Debris'

 

 

Ingatan masa lalu membentuk diri kita dengan cara yang kadang tak bisa kita definisikan dalam Bahasa. Ingatan menjelma hantu atau masuk melalui perasaan rindu, atau bahkan trauma, lalu pelahan seperti membentuk jalan setapak menuju titik yang tak pernah kita tahu. Ingatan membantu kita mencari diri kita yang lain, atau menelusuri tempat-tempat yang lama kita tinggalkan. Kepingan-kepingan hidup yang kemudian kita susun ulang dengan bingkai baru, menyusun gambar baru yang bertemu dengan imaji kita lainnya. 

 

Karya Muliantha Muliawan pada pameran ini merupakan serangkaian penelusurannya di masa lalu atas peristiwa yang tampaknya lewat sepintas, tetapi justru membawanya pada satu pengalaman ketubuhan atas ruang dan konstruksi berpikir. Ia sengaja menguak masa kecilnya ketika sering turut bersama sang ke proyek-proyek bangunan untuk urusan pekerjaan. Jika Sebagian keluarga menghabiskan waktu akhir pekan untuk berlibur atau mengunjungi satu tempat bersama-sama, ayahnya sering harus terus bekerja di waktu itu. Karena sekolah tak ada aktivitas, jadilah Meliantha acap diajak mengunjungi proyek bangunan, yang tentu saja saat itu tak begitu menyenangkan baginya. Apa yang menarik dari melihat bangunan-bangunan yang belum jadi, area yang tampak terbengkalai, atau puing yang berserakan di mana-mana? 

 

Ayah Meliantha Muliawan membuka toko bangunan “Maju Lancar” di Depok pada kisaran tahun 1980an. Dari toko ini, ia kemudian juga mulai mengerjakan proyek-proyek pembangunan perumahan atau rumah toko yang mulai marak di wilayah tersebut. Periode 1980an adalah bagian dari periode keemasan pembangunan(isme) Orde Baru, dengan dibukanya lahan-lahan perumahan baru, terutama di Kawasan pinggiran kota besar, untuk menyokong kelas menengah baru yang bekerja di sektor profesional terutama dari tumbuhnya lapangan kerja di perusahaan-perusahaan trans-nasional atau perusahan manufaktur. Perumahan skala kecil, lebih privat, terpagar, menjadi impian baru bagi keluarga-keluarga kelas menengah baru yang ingin berjarak dari kehidupan perkampungan yang lebih keos dan seperti tak memberi privasi. Pada tahapan ini, bermunculan pola kerja kontraktor skala kecil yang membangun rumah dengan modal jejaring dan kerja keras, tetapi tidak membutuhkan modal uang skala besar. Ayah Meliantha, dengan didikan keluarga keturunan Tionghoa yang diarahkan untuk menjadi pedagang, memanfaatkan kesempatan ini dengan jeli. Spirit kerja keras itu juga terlihat dari kemauan untuk bekerja bahkan di akhir pekan, melibas waktu liburnya. 

 

Menelusur sejarah keluarga dari sisi ekonomi semacam in I secara sepintas kemudian membawa Meliantha untuk membaca ingatan ini lebih dekat. Puing-puing dan rerentuhan itu kini menjelma sebagai sesuatu yang berbeda; sisa dari struktur-struktur yang dibongkar atau dihancurkan. Dengan cara pandang dewasa, dan bekerja sebagai seniman, ia melihat puing sebagai material yang punya sejarah. Meliantha kemudian mengumpulkan puing-puing bangunan untuk menjadi material utama dalam karyanya, menyusun kepingan kenangan menjadi gambar baru yang memproyeksikan cara pandang baru. 

 

Meliantha membentuk puing-puing ini menjadi kelopak bunga, mewarnainya dengan warna-warna terang seperti bunga yang cemerlang di musim panas. Bagi Meliantha, gagasan atas bunga ini juga bagian dari ziarah atas pengalaman yang sama: bahwa di antara puing dan reruntuhan, bagian paling disukainya adalah berjalan di antara bunga-bunga di taman yang berada di dalam komplek perumahan yang dibangun ayahnya. Bunga-bunga ini menjadi keindahan yang memberi kontras dari hal-hal yang berserakan di Kawasan proyek perumahan, dan Meliantha merekamnya sebagai ingatan visual yang cukup detil . 

 

Meliantha membawa strategi bunga ala estetika gambar diam (still life), dan dengan sengaja membuat strategi bidang transparan untuk menunjukkan struktur bingkai yang menopang lukisan ini. Meliantha melihat bingkai sebagai bagian dari karya seni yang menarik untuk dipandang, bukan hanya disembunyikan. Apalagi dalam konteks konseptualisasi karya ini, Meliantha melihat puing sebagai bagian dari struktur, dan bingkai lukisan pun merupakan bentuk struktur mesti yang sederhana. Struktur geometris ini menjadi bagian dari elemen visual yang membentuk karya, sebagaimana bunga-bunga. Selain ketidaklaziman menampakkan bingkai sebagai elemen visual yang sejajar dengan objek karya, Meliantha juga berhasil memberikan kontras yang menarik dari struktur bingkai yang geometris dengan detil bunga yang penuh dengan garis lengkung (kurva). 

 

Bentuk dan komposisi bebungaan ini juga mengingatkan saya pada bentuk kerajinan kruistik yang banyak menghiasi rumah-rumah kelas menengah pada 1980an, yang Sebagian dibuat oleh para istri melalui kelompok Pendidikan Kesejahteraan Keluarga. Selain bentuk bunga, Ingatan tentang konstruksi perumahan yang “keras” dan sarat dengan citra maskulin atas bahan-bahan padat industri, kemudian bertemu dengan bentuk yang lebih halus dan dibuat dengan moda kriya rumahan. Meliantha tidak hanya menawarkan pertentangan bentuk antara yang keras dan yang halus, yang massif dan yang unik, tetapi juga ingatan yang berkelindan di antara yang dianggap sampah dan apa yang indah. 

 

Melalui pemilihan material yang sangat dengan pengalaman dan ingatan tubuhnya atas sebuah proses konstruksi bangunan, serta cerapan atas keindahan bebungaan, Meliantha membawa kita menelusuri jejak yang samar dari proses pembangunan di kota pinggiran, dari ekonomi sebuah negara yang melaju dari boom minyak dunia pada 1970an dan bagaimana gaya hidup kelas menengah baru pada saat itu. Praktik artistiknya tidak saja mengartikulasikan ingatan dan mantransformasikannya menjadi bentuk yang tak terpikirkan, tetapi memberi ruang persilangan pertemuan antara maskulin dan feminin, material keras dan bentuk yang lembut, seni tinggi dan seni sehari-hari, materialitas dan dialektika objek. Meskipun secara visual tampak sederhana; rangkaian bunga-bunga tiga dimensi yang tertempel di dinding galeri, Meliantha sedang menawarkan pembacaan atas sejarah keluarganya sebagai bagian dari narasi konteks atas lanskap arsitektur dan kota, serta negosiasi yang cerdas atas kanon sejarah seni kita.

Tulisan oleh Alia Swastika

bottom of page